Sosial dan Budaya


 Anda Bertanya...??? Gus Sukro Menjawab...
  Tanya : Gus Sukro Saya telah berusia 25 tahun mempunyai teman putri yang telah akrab dan hubungan saya dan teman itu telah direstui orangtua. Kami merencanakan bulan besar tahun 2011 ini akan melangsungkan pernikahan, sepertinya orang tua putri tersebut tidak mengizinkan kalau terlalu cepat. Apakah dapat kami melangsungkan tanpa izin orang-tua dan menggunakan wali hakim? (Hidayat  Sidoarjo).
Jawab : Kedudukan wali nikah dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia telah dimuat dalam "Kompilasi Hukum Islam" sebagai kesepakatan ulama-ulama Indonesia. Dalam fasal 19 dari Kompilasi Hukum Islam tersebut menyatakan: "Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya". Arti rukun ialah merupakan unsur kalau tidak dipenuhi perbuatan itu tidak sah.
Mengenal wali hakim sebagai disebutkan dalam fasal 23, disebutkan bahwa :  Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin dihadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adalah atau enggan.
Sebagaimana yang Anda kemukakan;  orang-tua teman Anda yang mestinya bertindak sebagai wali telah merestui. Untuk itu sebaiknya agar ditempuh agar Anda sabar dalam arti menjaga diri dalam pergaulan dan sabar dalam arti menunggu waktu kesediaan wali menikahkan Anda. Insya Allah dengan kesabaran Anda dan selalu memohon pertolonganNya kesulitan dapat diatasi.


Tanya : Gus Sukro Apa hukum perkawinan seorang laki-laki dengan seorang gadis yang sedang hamil? Apa akad nikahnya perlu diulang setelah melahirkan? Siapa wali pernikahan anak tersebut bila ia perempuan? (Ridwan Malamg).
Jawab: Perkawinan tersebut tidak sah, kecuali dengan laki-laki yang spermanya membuahi kandungan gadis itu. Alasannya ialah Hadits :




Artinya: "Tidak halal (haram) bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menyiramkan airnya ke ladang orang lain ". (Lihat Sunah Abu Daud, cet.1, jil. 1, th. 1371 H/1952 M, hal. 497).
Dari Hadits di atas difahamkan bahwa jika seorang wanita hamil, maka ia tidak boleh kawin (bersetubuh) kecuali dengan bekas suaminva yang telah merujukinya atau dengan suaminya sendiri. Dan difahamkan pula bahwa wanita tersebut boleh melakukan aqad nikah dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilannya, karena rahim wanita itu telah menjadi kebun yang telah ditanami bibit laki-laki itu. Keterangan ini bukanlah berarti menghalalkan zina.
Hal ini dikuatkan pula oleh ayat 4 Surat at-Talaq, yang menyatakan bahwa iddah wanita hamil sampai melahirkan anaknya, setelah itu ia boleh kawin dengan laki-laki lain. Sedang bekas suami yang menyebabkan kehamilannya ia boleh dirujuki atau dikawini kembali oleh bekas isterinya itu, karena wanita itu merupakan ladang yang telah ditanarni bibit bekas suaminya itu. Peristiwa ini dapat dijadikan dasar untuk mengqiaskan perkawinan seorang laki-laki dengan gadis yang telah dihamilinya itu.
Dengan demikian maka perkawinan laki-laki dengan gadis yang hamil itu tidak sah, karena itu ia harus melakukan aqad nikah setelah gadis itu melahirkan. Kecuali jika yang menyebabkan kehamilan gadis itu ialah laki-laki tersebut, itu nikahnya sah.  Dengan dasar, tidak termasuk yang dilarang pada ayat 23 surat An-Nisa'.
Jika anak perempuan yang lahir dari perkawinan seorang gadis hamil dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilannya itu telah besar, maka wali perkawinannya ialah laki-laki itu, karena laki-laki itu telah menjadi bapaknya yang sah. Jika gadis itu melahirkan anak perempuan dalam keadaan tidak bersuami (karena tidak pernah melakukan aqad nikah), maka walinya adalah wali hakim, yang di Indonesia dilaksanakan oleh pegawai Kantor Urusan Agama (KUA), sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh pemerintah. Dasarnya ialah :






Artinva: "Bersabda Rasulullah saw.... maka sultan adalah wali orang yang tidak berwali.
Yang dimaksud dengan sultan ialah pemerintah.